Visi Otonomi Daerah
Visi otonomi daerah dapat dirumuskan dalam tiga ruang lingkup utama yang saling berhubungan satu dengan lainnya.
1. Bidang politik
Mengingat otonomi adalah buah dari kebijakan desentralisasi dan demokrasi, karenanya visi ekonomi di bidang politik harus dipahami sebagai sebuah proses untuk membuka ruang bagi lahirnya kepala pemerintahan daerah yang dipilih secara demokratis, memungkinkan berlangsungnya penyelenggaraan pemerintah yang responsif terhadap kepentingan masyarakat luas, dan memelihara suatu mekanisme pengambilan keputusan yang taat pada asas pertanggungjawaban.
2. Bidang Ekonomi
Visi otonomi daerah bidang ekonomi mengandung makna bahwa otonomi daerah di satu pihak harus menjamin lancarnya pelaksanaan kebijakan ekonomi nasional di daerah, di pihak lain mendorong terbukanya peluang bagi pemerintah daerah mengembangkan kebijakan lokal kedaerahan untuk mengoptimalkan pendayagunaan potensi ekonomi di daearahnya. Dalam kerangka ini, otonomi daerah memungkinkan lahirnya berbagai prakarsa pemerintah daerah untuk menawarkan fasilitas investasi, memudahkan proses perizinan usaha, dan membangun berbagai infrastruktur yang menunjang perputaran ekonomi di daerah.
3. Bidang Sosial Budaya
Visi otonomi daerah bidang sosial budaya mengandung pengertian bahwa otonomi daerah harus diarahkan pada pengelolaan, penciptaan, dan pemeliharaan integrasi dan harmoni sosial. Pada saat yang sama, visi otonomi daerah dibidang sosial dan budaya adalah memelihara dan mengembangkan nilai, tradisi, karya seni, karya cipta, bahasa, dan karya sastra lokal yang dipandang kondusif dalam mendorong masyarakat untuk merespon positif dinamika kehidupan disekitarnya dan kehidupan global. Karenanya, aspek sosial budaya harus diletakkan secara tepat dan terarah agar kehidupan sosial tetap terjaga secara utuh dan budaya lokal tetap eksis dan keberlanjutan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa konsep otonomi daerah mengandung makna:
1. Penyerahan sebanyak mungkin kewenangan pemerintahan dalam hubungan domestik kepada daerah, kecuali untuk bidang keuangan dan moneer, politik luar negeri, peradilan, pertahanan, keagamaan, serta beberapa kebijakan pemerintah pusat yang bersifat strategi nasional.
2. Penguatan peran DPRD dalam pemilihan dan penetapan kepala daerah; menilai keberhasilan atau kegagalan kepemimpinan kepala daerah.
3. Pembangunan tradisi politik yang lebih sesuai dengan kultur (budaya) setempat demi menjamin tampilnya kepemimpinan pemerintahan yang berkualifikasi tinggi dengan tingkat akseptabilitas (kepercayaan) yang tinggi.
4. Peningkatan efektivitas fungsi-fungsi pelayanan eksekutif melalui pembenahan organisasi dan institusi yang dimiliki agar lebih sesuai dengan ruang lingkup kewenangan yang telah didesentralisasikan.
5. Peningkatan efisiensi administrasi keuangan daerah serta pengaturan yang lebih jelas atas sumber-sumber pendapatan negara.
6. Perwujudan desentralisasi fiskal melalui pembesaran alokasi subsidi pusat yang bersiat block grant.
7. Pembinaan dan pemberdayaan lembaga-lembaga dan nilai-nilai lokal yang bersifat kondusif terhadap upaya memelihara harmoni sosial.
Sejarah Otonomi Daerah di Indonesia
Peraturan perundang-undangan yang pertama kali yang mengatur tentang pemerintahan daerah pasca proklamasi kemerdekaan adalah UU No. 1 Tahun 1945. Ditetapkannya undang-undang ini merupakan hasil dari berbagai pertimbangan tentang sejarah pemerintahan di masa kerajaan-kerajaan serta pada masa pemarintahan kolonial. Undang-undang ini menekankan aspek cita-cita kedaulatan rakyat melalui pengaturan pembentukan Badan Perwakilan Rakyat Daerah. Di dalam undang-undang ini ditetapkan tiga jenis daearah otonom, yaitu keresidenan, kabupaten, dan kota. Periode berikutnya undang-undang ini sangat terbatas. Sehingga dalam kurun waktu tiga tahun belum ada peraturan pemerintah yang mengetur mengenai penyerahan urusan (desentralisasi) kepada daearah. Undang-undang ini kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948.
Undang-ndang Nomor 22 Tahun 1948 berfokus pada pengaturan tentang susunan pemerintahan daerah yang demokratis. Di dalam undang-undang ini ditetapkan dua jenis daerah otonom, yaitu provinsi, kabupaten/kota besar, dan desa/kota kecil. Mengacu pada ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948, penyerahan sebagian urusan pemerintahan kepada daerah telah mendapat perhatian pemerintah. Pemberian otonomi kepada daerah berdasarkan undang-undang tentang pembentukan daerah, telah di rinci lebih lanjut pengaturannya melalui peraturan pemerintahan tentang penyerahan sebagian urusan pemerintahan tertentu kepada daerah.
Perjalanan sejarah otonomi daerah di Indonesia selalu ditandai dengan lahirnya suatu produk perundang-undangan yang menggantikan produk sebelumnya. Perubahan tersebut pada satu sisi menandai dinamika orientasi pembangunan daerah di Indonesia dari masa ke masa. Akan tetapi, di sisi lain hal ini bisa pula dipahami sebagai bagian dari “eksperimentasi politik” penguasa dalam menjalankan kekuasaannya. Periode otonomi daerah Indonesia pasca UU No. 22 Tahun 1948 di isi dengan munculnya beberapa UU tentang pemerintahan daerah, yaitu UU Nomor 1 Tahun 1957 (sebagai pengaturan tunggal pertama yang berlaku seragam untuk seluruh Indonesia), UU No. 18 Tahun 1965 (yang menganut sistem otonomi yang seluas-luasnya), dan UU No. 5 Tahun 1974.
UU yang disebut terakhir mengatur pokok-pokok penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi tugas pemerintah pusat di daerah. Prinsip yang dipakai dalam pemberian otonomi kepada daerah bukan lagi “otonomi yang riil dan seluas-luasnya”, tetapi “otonomi yang nyata dan bertanggung jawab”. Alasannya, pandangan otonomi daerah yang seluas-luasnya dapat menimbulkan kecenderungan pemikiran yang dapat membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan tidak serasi dengan maksud dan pemberian otonomi kepada daerah sesuai dengan prinsip-prinsip yang digariskan dalam GBHN yang berorientasi pada pembangunan dalam arti luas. Undang-undang ini berumur paling panjang, yaitu 25 tahun, dan baru diganti dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 setelah tuntutan reformasi bergulir.
Kehadiran Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tidak terlepas dari perkembangan situasi yang terjadi pada masa itu lengsernya rezim otoriter Orde Baru dan munculnya kehendak masyarakat untuk melakukan reformasi di semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Berdasarkan kehendak reformasi tersebut, Sidang Istimewa MPR tahun 1998 yang lalu menetapkan Ketetapan MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasioanal, yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Momentum otonomi daerah di Indonesia semakin mendapatkan tempatnya setelah MPR RI melakukan amandemen pada Pasal 18 UUD 1945 dalam perubahan ke dua yang secara tegas dan eksplisit menyebutkan bahwa negara Indonesia memakai prinsip otonomi dan desentralisasi kekuasaan politik.
Sejalan dengan tuntutan reformasi, tiga tahun setelah implementasi UU No. 22 Tahun 1999, dilakukan peninjauan dan revisi terhadap undang-undang yang berakhir pada lahirnya UU No. 32 Tahun 2004 yang juga mengatur tentang pemerintah daerah. Menurut Sadu Wasistiono, hal-hal penting yang ada pada UU No. 32 Tahun 2004 adalah dominasi kembali eksekutif dan dominasinya pengaturan tentang pemilihan kepala daerah yang bobotnya hampir 25% dari keseluruhan isi UU tersebut.
Prinsip-Prinsip Pelaksanaan Otonomi Daerah
Prinsip-prinsip pemberian otonomi daerah yang dijadikan pedoman dalam penyelenggaran pemerintahan daerah adalah sebagai berikut:
1. Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memerhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman daerah.
2. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata, dan bertanggungjawab.
3. Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah kabupaten dan daerah kota, sedangkan pada daerah provinsi merupakan otonomi yang terbatas.
4. Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi negara sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antardaerah.
5. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah otonom, dan karenanya dalam daerah kabupaten dan kota tidak ada lagi wilayah administrasi. Demikian pula di kawasan-kawasan khusus yang di bina oleh pemerintah atau pihak lain, seperti badan otorita, kawasan pelabuhan, kawasan perumahan, kawasan industri, kawasan perkebunan, kawasan pertambangan, kawasan kehutanan, kawasan perkotaan baru, kawasan pariwisata, dan semacamnya berlaku ketentuan peraturan daerah otonom.
6. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif daerah, baik fungsi legislasi, fungsi pengawasan maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan pemerintahan daerah.
7. Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada daerah provinsi dalam kedudukannya sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada gubernur sebagai wakil pemerintah.
8. Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari pemerintah kepada daerah, tetapi juga dari pemerintah dan daerah kepada desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan.
Referensi
Ubaedillah, A, dkk. 2010. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) DEMOKRASI, HAK ASASI MANUSIA, DAN MASYARAKAT MADANI Edisi Ketiga. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
0 komentar:
Posting Komentar